Kemarin, kebetulan saja punya keinginan yang tinggi dengan makanan satu ini. Memang tidak setiap hari saya lewat depan salah satu stand CHubby di Tunjungan plaza walaupun setiap hari saya berada di sana, tapi melihat orang sering ngemil makanan satu ini sambil jalan. Dan baru sebulan ini saya nemu tempat jualanya mendadak pengen banget buat ikutan incip2.  😀

Ngomongin soal camilan satu ini, saya sendiri sudah feeling kurang bagus dengan masalah harga. Makanya itu, kemarin saya berencana patungan dengan salah seorang teman. Dan ternyata benar. Harga paling murah per porsinya Rp 12.000. Yang disajikan oleh Chubby ini, antara lain chicken fillet, dori, dan cumi-cumi. Harganya sih mulai dari Rp 12.000 -chicken fillet- Rp 16.000 -dori- dan Rp 18.000 -cumi-cumi-.

Kebetulan kemarin saya cuma bisa mengincipi yang chicken fillet. Melihat dari proses produksinya, cukup unik. Saat anda pesan, saat salah satu pelayan memulai memukul bahan pesanan anda. Setelahnya, diberi tepung (ada kemungkinan) tanpa garam. Lalu digoreng hingga tingkat kematangan yang serba komputer. Setelah bahan matang sempurna, diberi bumbu sesuai selera anda. Ini yang menjadi cukup unik dari Chubby. Mereka memiliki 4 jenis bumbu bubuk. Dan anda bisa memilih salah satu atau salah dua atau semua juga boleh sesuai keinginan anda. Dan dikocok, setelah itu siap disajikan.

Sejauh pengamatan saya, rata-rata per sajian dibutuhkan 3-4 fillet. Semua jenis order. Baik itu ayam, dori, atau cumi. Lalu diiris menjadi 5-6 iris per fillet. Yang seru, semua order anda tersaji fresh from the oven. Karena order baru memasak. Ini yang menjadi istimewa. Bukan hanya itu, anda pun bisa meninggalkan pesanan anda dulu dengan belanja atau apapun. Setelahnya anda bisa mengambil pesanan anda. Jadi kalau anda melihat antrian cukup banyak, mending cari tempat duduk atau ngobrol-ngobrol dulu setelahnya bisa diambil.

Dari segi rasa, Chubby memiliki rasa yang sebenarnya enak, tapi sayangnya kurang pas. Saya dan teman saya satu kata, bahwa pembuat resepnya sedikit berbuat kesalahan. Dengan memilih menaburkan bumbu pilihan diatas gorengan dipikir akan melelehkan bumbu yang ada. Itu memang benar sejauh ilmu retorika. Tapi, dengan takaran yang jelas harus terstandard. Dimana jumlahnya juga harus jelas. Ga kurang boleh lebih. Entah saya yang kemarin sedang apes atau memang semua begitu, saya kurang merasakan bumbu yang saya pilih.. Garlick (powder), chilli (powder), dan blackpepper?? Oh demi dewa zeus, saya hanya merasakan asin dari garlick -tanpa rasa pedas khas garlick- dan sengitnya blackpepper di hidung. Atau singkat kata : Kurang nendang..!!

Setelah mungkin sisa setengah porsi, saya berpikir apa yang kurang dari makanan ini? Kesalahan bukan kekurangan. Kesalahannya terletak pada jumlah. Mungkin ada yang tersinggung jika saya bilang jumlah. Karena garlick powder mau jumlah berapapun, tetap ga akan nendang. Yang bisa menendang hanya chilli, dan blackpeppernya. Oke, bisa diterima. Kalau begitu diganti : garlick jangan powder, dan yang powder dimasukkan di dalam tepung sebelum digoreng. Deal? Yeahh.. Karena masalah terletak disitu. Sudah jumlah kurang, salah tempat pula.. Fatal! 😀

Mungkin kalau ini dibaca oleh pemilik Chubby mereka akan teriak dimana teori ekonomi berjalan?? Oke.. Bisa diterima.. Ini solusi yang ga akan mengganggu jalannya teori ekonomi yang sampai detik ini tidak bisa dilawan dan tidak bisa disangsikan. pertama, buang garlick powder itu. Ganti dengan fried Garlick dan ditumbuk kasar saja. Kedua, siapkan baskom, mangkok, atau apapun minimal 3. Untuk apa?? Saat ada order, suruh pelayan anda menaruh tepung di salah satu baskom. Tambahkan dengan bumbu pilihan customer, dan gulingkan fillet diatasnya. Lalu goreng. Sembari menunggu matang, suruh pelayan membersihkan baskom tadi atau taruh di tempat lain dan ganti dengan baskom baru untuk next order. Lalu apa guna bawang putih goreng yang sudah ditumbuk tadi?? Itu berguna untuk pesanan dengan bumbu garlick. Dijamin rasanya akan keluar, pedasnya akan mengusik hidung customer, dan akan menciptakan rasa yang lebih dahsyat dari yang sudah dijual sekarang tanpa perlu mengotak-atik teori kapitalis itu. 🙂 

Tapi sejujurnya, kemasan dari Chubby yang bagus -walaupun tidak ditunjang dengan tampilan stand yang bagus- ditambah dengan keunikan dari bumbu powder yang 3 diantaranya adalah pencipta rasa pedas yang sudah dikenal sejak lama, membuat sugesti kepedasan -dan keasinan- mendadak muncul di lidah. Seperti kata salah seorang pakar enterpreunership, saat seseorang masuk ke dalam sebuah cafe, mereka bukan mencari kopi yang istimewa namun mencari suasana yang istimewa. Begitu pun dengan ini. Mereka di awal sudah terpesona dengan kemasan yang bagus dan go green (karena dari kertas) sehingga rasa asin dan pedas yang semu, mendadak muncul saja. Namun ayolah, ini adalah permainan marketing. Dan permainan marketing macam apapun, tidak akan bisa menipu tim gakcumamakan.wordpress.com. 🙂

Jika anda bertanya : Apa yang membuat makanan ini pantas dihargai 12rb?? Saya menilai, dari kualitas dan kuantitas. Kalo dari kualitas, penggunaan dada ayam jelas menjadi pilihan disini (untuk chicken fillet). Dikarenakan mereka menjual snack yang renyah dan butuh waktu sekitar 1-2 jam untuk menciut dan tidak renyah. Sementara penggunaan bagian ayam yang lain seperti paha, bahkan sayap, jelas tidak bisa tahan lama kerenyahannya dikarenakan dasar dari daging bagian2 tersebut memang lentur dan kurang berotot. Ditambah dengan penyajian dengan tingkat kematangan yang pas (karena sudah bermain di komputerisasi) membuat snack ini cukup layak dihargai Rp 12.000 per porsi. Secara kuantitas membeli dada ayam saja memiliki nilai yang lebih mahal dibanding membeli satu ekor ayam utuh. Ini bisa menjadi alasan harga yang selangit.

Poin untuk Chubby : 6/10

Salam Gak Cuma Makan